Satu Tahun Dunia Kami


Satu tahun yang lalu Dek Cantya lahir ke dunia. Denyut jantung pertamanya mengalihkan dunia kami padanya. Ia tumbuh menjadi anak yang menakjubkan. Tangannya sudah bisa melambai, menggoyangkan telunjuk tatkala diserukan No!No!No!. Juga, bertepuk tangan jika disorakkan hore. Kakinya sudah berjalan ke sana kemari dengan gagah berani. Tak lagi diiringi kidung sebulan yang lalu, jatuh bangun aku mengejarmu.

Semenjak dua giginya muncul perlahan dari gusi bawah, kepandaian Dek Cantya makin bertambah. Ia bisa menghambur ke pelukan jika mendengar suara keras sembari mencari daging segar yang bisa dikunyah-kunyah. Ia berperan aktif dalam mengacak-acak benda-benda yang sudah damai di tempatnya. Ia juga terampil dalam buntut membuntuti. Kendati sudah berjinjit, mengendap-endap laksana maling, Ia tetap bisa melacak niat bundanya yang hendak beranjak. Uhft, Ia kepo sekali.


Walau begitu Dek Cantya adalah bayi yang pengertian. Ia bisa stay cool saat upacara bendera hingga amanat pembina dimulai. Ikut ngomel-ngomel ketika siswa tidak mendengarkan pelajaran dengan tertib. Juga duduk tenang di kursinya kala saya harus ke kamar mandi, walau beberapa menit.

Tak sampai di situ saja, Dek Cantya juga bayi yang sensitif. Saat azan subuh berkumandang, Ia sudah siap dengan serangan di pipi atau gigitan di hidung. Aksi ini akan semakin keras jika saya menawar lima menit saja. Padahal apa sulitnya berkata “shalat tepat waktu Bun, jangan tunda-tunda!” Siap bos!

Sudah satu tahun saja rupanya dan saya masih jauh dari kata layak untuk menjadi ibunya. Saya pernah disebut ibu yang tak becus mengurus anak karena Ia digigiti nyamuk. (Saya sudah berusaha mencegahnya namun tetap saja nyamuk dan saya punya kesibukan masing-masing.) Saya juga pernah dilabeli ibu yang pelit karena tidak membelikan Dedek kursi bundar beroda untuk merangsang kemampuan berjalannya. (Saya jadi tak habis pikir bagaimana mungkin seorang manusia menakar kebutuhan manusia lain dengan kebutuhan dan keinginan dirinya sendiri. Aneh.) Saya juga pernah dikatai ibu yang jahat karena menerobos hujan bersama dedek dengan sepeda motor. (Padahal saya yang tepar usai hujan mereda. Kepala saya memberat, suhu tubuh meningkat dan bahu cenat cenut. Sementara Dedek masih seriang murid-murid yang mendengar ulangan dibatalkan dan mukanya masih secerah sekuntum bunga matahari di siang hari.) Dalam sakit bertumpuk lelah, Dedek datang mencakar mata saya yang basah dan menggigit telinga yang memerah. Menjadi kuat atau lemah itu pilihan Bun! Aih sejak kapan Dedek lancar bicara?

Kembali ke ulang tahun Dek Cantya. Keluarga kecil ini memang tidak biasa merayakannya dengan hiasan, nyanyian, kue atau pesta kecil-kecilan. Ditambah lagi, apalah yang bisa dilakukan oleh saya sendirian. Sudah sebulan Kang Mas tercintahh sibuk sekali dengan studinya. Dikala menggaruk-garuk dinding sudah tidak kekinian lagi. Menangisi galon kosong dan tutup botol minuman bandel sudah begitu melelahkan, Ayo Dek, kita nikmati hari ulang tahunmu dengan bercerita. Kisah masa kecil Bundamu yang berapi-api. (Eaaaa...)

Cerita ini akan Bunda awali dengan sesuatu yang Bunda sukai yaitu uang. Ya, uang. Bunda masih kecil kala itu. Entah SD kelas berapa. Bunda lupa persisnya. Kala itu, Bunda memungut uang di tengah Balai Ahad kampung kita. Balai Okok, begitu warga Saruaso menyebutnya. Hanya butuh sepersekian detik bagi Bunda untuk memasukkan uang itu ke kantong celana, dan sepersekian mili detik untuk hati bertabur bunga. Tak terbilang rasa riang gembira. Tatapan mata yang awalnya syahdu kini jadi menyala-nyala. Menatap mantap ke segala arah seolah seisi balai bisa diborong semua. Di kepala sudah terbayang tambahan uang belanja. Bongkar pasang dan majalah Bobo bisa dinaikkan kuantitas pembeliannya. Belum lagi kelereng, yoyo, balon dan antek-anteknya. Semua serasa sudah di depan mata. Hingga tibalah saatnya merogoh kantong celana. Gerakan tangan yang mulanya lambat jadi dipercepat. Dirogoh kantong kanan, kosong. Pindah ke kantong kiri, kosong. Diulang lagi, lagi dan lagi. Semua uang raib. Tidak ada yang tersisa kecuali hati yang patah dan gundah gulana. Bunda kembali pulang dengan tangis tertahan.

“Ha....tadi lah diagiah pitih lanjo ma,” nenekmu ngomel-ngomel.

“Saku-saku Anty tombuak Maaaaaaa!!” Ini bahasa Saruaso Dek. Seksi sekali bukan?

Waktu itu perekonomian kakek dan nenek cukup sulit. Per-harinya kami hanya diberi uang jajan yang sudah ditakar sedemikian rupa. Meminta dibelikan mainan alangkah susahnya. “Makanya! Jangan campurkan uang yang kamu pungut dengan uang milikmu sendiri.” Nasehat teman Bunda dengan takzim. “Kalau kamu simpan uang milikmu di kantong kiri, uang yang kamu pungut letakkan di kantong kanan,” sahut teman yang lain. “Iya, kata ibuku uang yang kita pungut bisa menghisap uang milik kita, jadi jangan digabung. Bisa hilang semua kan?” Iya juga ya. Bunda mengangguk-angguk. Merasa beruntung punya teman secerdas mereka hingga nenekmu menasehati Bunda. “Ini bukan soal lokasi penyimpanan uangmu Nak, tapi soal hak. Uang itu bukan milikmu. Ada orang yang berhak memilikinya dan kau tidak berhak mengambil milik orang lain. Kau harus mengembalikan atau menyumbangkan jika pemiliknya tidak jua diketahui.”

Begitulah. Bunda memang kehilangan uang Dek, tapi memperoleh pelajaran berharga yaitu kejujuran. Prinsip inilah yang selalu ditanamkan oleh kakek nenek serta ayahmu. Jangan curang. Jangan makan hak orang lain. Milikilah hartamu dari cara yang jujur. Jika tidak, keberkahan hidup akan hilang.

Kau tahu berkah itu apa Dek? Kata ayahmu, tatkala semua yang kau miliki walau sekecil apapun, sesederhana apapun namun masih terasa nikmat, cukup dan membahagiakan berarti itu berkah. Lihatlah pencuri dan koruptor di sekelilingmu nanti. Walau sudah mendapat milyaran rupiah sekalipun tetap terus mencuri karena perutnya tak pernah kenyang. Mereka selalu dirongrong haus dan lapar karena semua yang mereka rasakan tadi sudah hilang rasa nikmatnya. Tidak pernah cukup untuk hidupnya. Lenyap bahagianya. Tidak ada lagi keberkahan.

Ketika kau besar nanti kau akan merasakan sendiri bagaimana anehnya hidup ini. Orang jujur harus berjuang mati-matian mempertahankan prinsipnya di tengah sistem dan tata kehidupan yang curang. KKN marak dimana-mana. Orang-orang sudah tak malu lagi meminta-minta yang bukan haknya. Orang jujur malah terkucil karena curang sudah dianggap hal biasa. Mereka bagai terkepung dalam arus deras kebiasaan buruk. Pilihannya adalah terbawa arus, menerjang arus atau berenang ke tepian yang entah dimana. Sulit Bun? Iya! Namun bukan berarti tidak bisa. Paham Dek? Paham Bun!

Oke, kita masuk ke cerita berikutnya yaitu tentang buah nanas. Bunda juga masih kecil tatkala buah nanas itu bunda santap dengan suka cita. Tiba-tiba tantemu datang dan ingin mendengar bunyi kunyahan buah nanas di dalam mulut Bunda. “Kok suaranya jelek ya? Sini kasih Uni biar Uni ajarkan cara mengunyah nanas agar menghasilkan bunyi yang bagus dan enak didengar.” Kata tantemu. Dengan semangat Bunda memberikan satu gigitan nanas padanya dan ia mulai mengunyah. Bunda mendekatkan telinga pada pipinya dan terdengar bunyi yang indah. “Coba kunyah perlahan, baguskan?” Bunda mengangguk. Bunda mengunyah sekali lagi sesuai arahan tantemu tapi Ia tetap berkata bunyinya masih jelek. “Kunyah seperti ini!” tantemu memakan lagi nanas bunda sambil terus memperdengarkan kunyahannya. Hingga nanas itu habis.

“Duh, kok kamu gak bisa bisa sih. Sana beli nanas lagi biar Uni ajarkan terus,” Bunda berlarian membeli nanas dan menyodorkan ke tantemu. Berdua kami habiskan nanas itu sembari terus memperdengarkan kunyahan masing-masing. “Gimana ni, kok Aku gak bisa juga ya menghasilkan suara yang bagus.” Bunda meringis. Tak lama tantemu tertawa ngakak setelah nanas itu habis. “Sebenarnya suara kunyahan itu bagus bagi orang lain tapi jelek terdengar oleh diri sendiri, Hahahaha.” Tantemu berlari penuh kemenangan. Meninggalkan bunda yang terpukul jiwa raga karena dibodohi oleh tantemu yang usil. Mengenang itu sekarang, kami tertawa terpingkal-pingkal namun tetap saja memberi pelajaran berharga bagi Bunda yaitu cerdaslah!

Jadilah anak yang pintar Dek. Berwawasan luas. Berpengetahuan tinggi agar tidak mudah dibodohi. Bodoh hanya akan merugikanmu dan bisa jadi merugikan orang lain jika kamu menempati posisi yang vital dalam pekerjaan maupun bermasyarakat nanti. Lihatlah sekarang betapa banyak orang yang menduduki posisi penting namun bodoh. Tidak tahu apa hak dan kewajibannya. Tidak mau belajar mengikuti ilmu yang terus berkembang sehingga merugikan orang-orang di sekitarnya. “Tenang Bun, aku aja udah SMA.” Hmm baiklah.

Dek Cantya, banyak kenangan yang ingin Bunda ceritakan padamu namun malam semakin larut. Kapan-kapan kita lanjutkan lagi. Selamat ulang tahun sayang. Tumbuhlah dengan pemahaman hidup yang baik. Kelak ubahlah dunia yang menyesakkan ini dengan kebaikan hati dan hidupmu. Ingatlah pesan ayah bundamu selalu. Jikalau itu tentang pengetahuan, berjalanlah mengikuti arus. Berlarilah jika perlu. Namun kalau berurusan dengan prinsip, Teguhlah! Bertahanlah! Setangguh batu karang di lautan! Selamat satu tahun sayang. Kami mencintaimu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online