Skenario


Sejujurnya, ada dua hal yang terlintas di benakku kala itu. Keduanya tarik menarik dengan kekuatan persis sama. Momen dipol nol. Pergi tidak. Pergi tidak. Pergi tidak. Pergi tidak. Kancing baju, kelopak bunga, motif selimut. Semuanya habis menjadi korban perhitungan kemungkinan munculnya pergi atau tidak. Hasilnya pun sama. Aku tahu sekali ada banyak hal yang not delicious akan terjadi. Hanya saja keinginan untuk keluar dari zona nyaman membuatku semangat. Lalu bagaimana dengan dreaming list yang sudah ku rancang? so so problematic. Ini dilema.


Aku memutuskan pergi ke pelatihan itu. Mengabaikan tekad bulatku untuk tidak bermotor-motor jauh lagi. Makan satu per dua porsi biasa (aku pilih-pilih soal makanan). Angkat-angkat barang berat (tas berisi pakaian selama pelatihan). Dan yang paling membuatku merana adalah pause membaca bukuku yang baru saja tiba. Tapi aku harus menatap ke depan. Menambah ilmu, memperluas wawasan dan selalu meng-upgrade ilmu keguruan, ehm ehm. Oceh. Aku berangkat. Dan tiba-tiba hujan lebat. Aku menunggu hujan reda sambil tidur-tiduran dan meragukan kembali tekad bulat tadi.
Di sinilah aku sekarang. Berkutat dengan KI, KD, indikator, kognitif, psikomotorik, sikap, skenario pembelajaran dan skenario kehidupan. Selama hujan aku ditimbun keraguan dan kata “tidak” muncul lebih dominan. Namun, takdir memaksaku berbalik arah. Aku dan temanku berangkat menerjang jalanan berkabut, licin dan menyerupai gelombang transfersal. Di saat kabut berubah menjadi pekat malam, ban motor berwarna hitam itu pecah di dekat tambal ban. Alhamdulillah. Positif saja. Ini skenario tak terduga. Ikuti saja.

Hanya saja kesabaranku diuji oleh tukang tambal ban yang memanfaatkan kesusahan orang lain dengan menaikkan harga seenaknya. Beliau tua dan berisik. Positif saja. Yap yap, ambil positif saja. Apa jadinya kalau bapak tua itu tidak ada? Skenario ini akan berakhir dengan air mata darah. Positif saja.

Karena diburu-buru waktu, semua terasa menyesakkan. Aku terlambat. Check in hotel, tak ada lagi kamar. Menunggu. Panitia berniat menyisipkan ke kamar peserta lain namun disambut dengan tatapan sinis. Menunggu lagi. Entah bagaimana muncullah satu kamar kosong, aku bersedia. Esok paginya, tiba-tiba panitia datang lagi meminta aku segera mengosongkan kamar, pemateri sekaligus penghuni kamar yang sah tiba. Ternyata, beliau sudah datang sejak subuh tadi namun dianggurin saja oleh panitia karena terlihat masih muda dan acakadut seusai perjalanan jauh. Pemateri memintaku sekamar bersamanya. Dengan kikuk, aku berkenalan lalu diam, diam, diam.

Usai bersiap-siap aku langsung menuju kelas pelatihan. Teman pertama yang kukenal di kelompokku membuatku terpana. Karena di menit kedua, aku langsung menyadari betapa annoying-nya dia. Aku tersenyum kecut. Masih ada ribuan menit lagi yang akan aku lalui di dekatnya. Dan entah apalagi cara agar dia tidak membuatku terganggu semakin jauh. Jangan sampai dia mengantarkanku pada sebuah titik yang membuatku memohon untuk tidak melanjutkan skenario ini.

Aku memang salah dari awal. Negative thinking yang berlebihan. Mengaitkan-ngaitkan fenomena alam untuk mendukung kemungkinan munculnya not delicious thing yang diperkirakan. Seolah-olah itu wahyu Tuhan yang menguatkan hal itu terjadi. Hingga Tuhan menunjukkan bahwa Dia sesuai dugaan hambanya. Skenario yang aku perankan mengikuti alur negatif yang sebenarnya tercipta oleh pikiranku sendiri.

Jalan cerita buruk berlanjut terus menerus karena aku sudah dipenuhi oleh pikiran buruk yang membenarkan bahwa aura negatif tidak mudah terhapus begitu saja. Mereka akan terus berangkai-rangkai hingga membuatku menyesali keputusanku. Menyesal? ya, itulah seburuk-buruknya ending skenario ini.

Barangkali layaknya aku, mungkin ada begitu banyak hal yang pernah atau sedang kita sesali. Menjalani adegan yang lebih baik tak usah terjadi. Bertanya-tanya mengapa kita ditakdirkan untuk melakoni skenario kehidupan yang tidak kita inginkan. Dari begitu banyak manusia kenapa harus kita?

Dan mungkin hanya sedikit yang memahami bahwa kejadian buruk itu sebenarnya hanya terjadi sepersekian cuil saja dari hal baik yang kita temukan. Hanya saja, tindakan kita menghadapi yang sedikit itu berkali-kali lipat hingga hal-hal baik tertutupi oleh suramnya cara kita bereaksi. Akibatnya kita menjadi naïf dan dangkal menghadapi suatu apapun masalah. Menangisi hal yang sama berkali-kali. Mengutuki kebodohan diri sendiri. Menertawakan keputusan kita yang tidak tepat. Menyalahkan alam sekitar yang bersatu padu mencemooh kita. Mengerangkeng hidup dalam penyesalan.

Dan itu semua terjadi karena kita tidak sepakat bahwa dalam skenario terburuk sekalipun kita tetap harus bersyukur agar kita tidak makin dalam terpuruk.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online