Selusin MIA-1


Aku menyebut mereka selusin MIA satu. Di beberapa tempat di sekolah, aku mendengar kelas ini disebut sebut sebagai “kelas 1 Bu Santi ini”. Atau “Itu tu kelas Bu Santi”. Kadang juga “anak anak mu Bu Santi” atau “anak Bu Santi lagi”. Wajar saja, walau jumlah mereka dua belas, tingkah mereka berkodi-kodi.

Petualanganku menjadi wali kelas bermula dari makhluk-makhluk ini. Jika meramaikan istilah anak muda sekarang, aku sering baper kalau mengingat, menimbang dan menghadapi cecunguk-cecunguk ini. Mereka memiliki dua potensi dalam satu paket. Imut-imut dan amit amit. Mereka ahli melakukan keduanya. Dan wali kelasnya ahli bermain karakter. Lihai memasuki kedua dunia itu tanpa terkontaminasi. Bergerak bergerak, menerkam menerjang terkam. Tak gentar tak gentar, menyerang menyerang menang. Keren bukan?


Dahsyatnya, walau mereka memiliki wali kelas sekeren ini, selusin MIA-1 selalu kalah di segala bidang kehidupan. Kalah banyak, kalah besar, kalah suara, kalah kompak, kalah seru, kalah PD, dan yang paling menyedihkan adalah kalah di lomba keindahan kelas minggu lalu. Bagaimana tidak, adakah yang lebih menyedihkan dibanding kalah melawan Pak Bambang di dunia ini? Jawabannya adalah TIDAK ADA! Aku mencak-mencak.

Di hari bersejarah itu, tiga anak lari dari kenyataan. Mulai dari beralaskan sakit, izin hingga alfa edison. Kendati begitu, aku tetap menyugesti diriku bahwa sembilan anak featuring wali kelas keren tidak akan kehilangan pesonanya. Tetap memiliki kemungkinan yang besar untuk memenangkan pertandingan.

Semua bekerja sama dengan kompak. Walau dengan tenaga yang minimalis. Namun, semuanya bekerja sesuai dengan pengarahanku. Mereka kompak bekerja lalu merengek. Bekerja lagi merengek lagi, bekerja lagi dan merengek lagi. Aku tidak patah semangat. Aku mengeluarkan semua jurus dan kesaktian adiwilaga yang kupunya. Menyemangati sekaligus memarahi. Awas kalau lokal kita kalah, jangan harap lihat matahari besok hari. Kata-kata penyemangat yang luar biasa bukan?

Waktu itu aku panik bukan main. Wajah Pak Bambang menari-nari di pelupuk mataku. Bahkan ketawanya yang menyebalkan itu sudah memenuhi gendang telingaku. Dan satu lagi yang sebenarnya paling mengusik jauh ke relung hatiku. Melebihi wajah Pak Bambang yang di-copy paste ribuan kali yaitu mental anak-anakku yang kucintai. Walau benar, kalimat ini cukup lebay. Silahkan itu di skip saja.

Tak berapa lama, juri datang dengan jumawa. Mereka memeriksa seisi lokal dengan ketelitian mikroskop elektron. Beberapa anak perengek sekaligus bersemangat tadi berkata. “Tenang Bu, kita pasti menang, setidaknya juara 2 sudah di tangan.” Mendengar itu, aku mengejar mereka dengan batu.

Tibalah pengumuman itu. Seperti yang kukatakan sebelumnya. Mereka kalah. Maksudku kami kalah. Anak-anak Pak Bambang plus Pak Bambang berteriak-teriak kegirangan seolah olah memenangkan piala dunia. Alam bawah sadarku memainkan ost olimpiade dunia. Mereka meledak dalam kebahagiaan tak terperikan. Sembilan anakku menatap nanar. Tersenyum tragis dan sok manis. Sembilan ekspresi yang meluluh lantakkan rumput yang bergoyang. Untung Kak Seto tidak membawa mereka ke Komnas Perlindungan Anak. Kesedihan mereka tak terbahasakan. Dan kerenku juga menguap ke langit ketujuh karena membiarkan mereka tetap bertahan dalam ekspresi itu.

Walau aku bukan cenayang, aku sebenarnya sudah memprediksi itu semua terjadi. Ketika pihak satu kalah ada dua hal yang menjadi alasan kursial. Pihak satu yang inkompeten atau pihak dua yang brilian. Bingo. Tepat sekali. Se-serba kekurangan apapun anak-anakku, tetap ini sebuah kompetisi yang penting untuk dimenangkan. Penting, tapi tidak harus. Lupakan wajah pak Bambang, teriakan pihak yang menang, dan euphoria kebahagiaan. Mental menang kalian tumbuhkanlah. Menang itu adalah pilihan dan menang itu lahir dari dirimu sendiri. Kalau kalian tidak siap dengan kemenangan, lalu kapan kalian akan menang?

Tuh kan..tuh kan…jadi baper. Sudahlah sudah. Katanya, hidup adalah perjalanan dari satu kecemasan ke kecemasan berikutnya hingga sampai pada satu tujuan dan tujuan berikutnya. Ada ratusan bahkan ribuan “berikut-berikutnya” lain yang akan kalian taklukkan. Jika sekarang sudah sekecut itu, bagaimana dengan hal berikut yang siap menantimu?

Terlepas dari itu semua. Sesungguhnya aku malah bahagia kalian kalah dalam lomba itu. Hahaha. Karena memang mereka lebih bagus. Walau usaha kalian jauh lebih keras. Dimana taman depan dan belakang di handle hanya oleh dua kamu. Satu kamu meng-handle banyak pekerjaan dinding, lantai, kaca, kata-kata motivasi, hiasan dan sebagainya. Semuanya bekerja keras, kompak dan itu mengesankan. Walau kalian kalah, kalian juga selalu saja menang. Menang di hatiku. Kalimat ini juga alay. Mohon di skip saja. Peace.

Kamu tahu Nak, ada hal yang jauh lebih berharga dibanding kemenangan apapun di dunia ini yaitu ketulusan. Rasa tulus yang membuatmu menghargai orang lain, karya orang lain, pemberian orang lain dan menghargai dirimu sendiri dengan memberikan yang terbaik dari dirimu. Rasa tulus yang membuatmu layak disebut manusia. Rasa tulus yang menyebarkan kebaikan dan rasa tulus yang memenangkan hati siapa saja. Well, tetaplah berjuanglah. Jika satu pintu tertutup, kuaklah pintu-pintu yang lain dan menangkan dengan ketulusan!

Fighting kids!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online