Ceracau
Kami terancam
tinggal setengah kodi. Sudah lah kodi, setengah pula. Seharusnya kami
bergembira dulunya walau satu lusin juga tidak membanggakan. Sejujurnya aku
tidak menyesalkan atau mengesalkan apa-apa. Hanya saja aku merasa ada yang
janggal dan mencurigakan.
Di neraka sana Bernard
Zobrist mungkin sedang tertawa. Berfikir senjata biologis pembunuh massal
acaknya telah tersebar di sekolah ini. Virus yang disebarkannya melalui udara
itu memiliki kecocokan dalam mematikan DNA yang anakku miliki. Zobrist adalah
ilmuwan brillian. Overpopulasi merusak keseimbangan antara kehidupan manusia
dengan alam. Teorinya bisa dibuktikan dan berdasarkan pendalaman ilmu yang
bukan main. Namun, dia harus rela dinobatkan sebagai pameran antagonis walau
otak cantiknya mempesona. Temanku bahkan berbisik takzim, “Zobrist keren
sekali” setelah menutup halaman terakhir.
Berkedok
kemanusiaan, Zobrist hanyalah ilmuwan sableng yang aneh. Padahal negara mana
saja di belahan dunia ini sudah merealisasikannya sejak dahulu kala meski
perlahan tapi pasti. Seketika, kita melupakan Robert Langdon yang tak kalah
brilliannya. Perjalanan-perjalanan cerdas dan dramatisnya menumpas Zobrist.
Peran antagonis memang harus lebih jago dibanding peran utama. Walau selalu
dibuat kalah di akhir cerita. Karena apa? Kita bahas ini nanti saja.
Berabad-abad silam
dunia telah mengakui batu akan mempertahankan keadaan diamnya kecuali ada gaya
yang bekerja untuk mengubahnya. Ketika jari manusia menekan batu, di saat yang
sama, batu sedang menekan jari manusia. Begitulah, gaya tidak pernah bisa
berlaku jika hanya pada satu benda. Menyalahi cinta yang bisa saja bertepuk
sebelah tangan. Newton mematenkan kepastian ilmunya itu dalam bentuk hukum.
Manusia sekarang, merumit dan membelit belitkannya untuk dikompetisikan dalam
olimpiade kelas kabupaten hingga internasional.
Zobrist dan Newton
adalah suhu pembuka ceracau ini. Aksi yang sama dengan –reaksi. Senjata
biologis sebagai solusi overpopulasi. Sehingga dimanakah letak janggal dan
mencurigakannya? Apa ini semakin terlihat seperti ceracauan? Tentu saja, karena
penulis memang sedang menceracau. Oke..biar lebih jelas terlihat keseriusan
penceracauan ini, aku akan katakan sejujurnya. Dimana letak janggal dan
mencurigakannya kasus setengah kodiku tadi. Yaitu, bagaimana bisa kuantitas
anak-anak di lokalku menyusut? Jawabannya adalah tidak tahu. Itulah. Aku tidak
tahu. Dan tidak tahu adalah masalah serius.
Lee Seong Gye
pendiri Joseon, cikal bakal berdirinya Korea memberitahu anak buahnya sebelum
berperang bahwa serigala tidak pernah takut dengan pemburu bersenjata. Tetapi
hal yang paling ditakutkannya adalah apa yang tidak dia tahu. Apa kamu meminta
bukti Ahjussi Lee Seong Gye benar-benar pernah mengatakan itu. Aku tak
bisa mengonfirmasinya karena aku hanyalah korban drama korea yang tak berdaya.
Namun aku bisa menunjukkan The Lost Symbol, “Open your minds my friends. We
all fear what we do not understand”. Ketidaktahuan itu menakutkan teman!
Aku memiliki
ilustrasi yang tidak keren. Di tanganku ada sebuah koin dua sisi. Mereka
bertolak belakang namun tak bisa kuceraikan. Jika sisi gambar adalah pembangun
maka sisi angkanya adalah penghancur. Aku tak bisa menebak kapan gambar akan
muncul meski aku melemparnya dengan pose yang sama. Jika angka lah yang muncul
maka aku tak akan bisa memaafkan diriku.
Apa aku jadi
berbelit-belit. Maklum saja, aku memang sedang terbelit hal yang tidak aku
mengerti. Ketika aku keras, ada anak yang berubah namun ada anak yang
mendendam. Ketika aku lunak pada anak yang tidak bisa dikerasi, anak menjadi
keterlaluan dan amnesia akut. Melihat itu, anak yang bisa dikerasi malah
menjadi tak terkendali. Merasa tak adil dan pilih kasih. Ingin dilunaki seperti
anak yang tidak bisa dikerasi. Dilunaki, giliran mereka yang menjadi lupa diri.
Kerasi lagi. Lunaki lagi. Lalu keras-keras lunak. Lunak lunak keras.
Hufft…simalakama…simalakama. Mana, aksi=-reaksi. Mana? Mana? Metode pendekatan,
pemahaman, diganti berkali-kali yang mungkin belum sempurna. Begitupun dengan
diriku sendiri yang masih jauh dari kata mampu. Namun sebelum semuanya menjadi
sempurna anak-anak malah berhenti. Koin menunjukkan angka. Zobrist
melayang-layang di udara tanpa lupa tertawa.
Yap, benar, banyak
faktor lain. Namun sebelum menyalahkan orang lain aku juga harus sadar bahwa
aku pun tak tahu seberapa kuat orang tua mengurusnya namun mereka masih diuji
dengan anak yang tidak baik-baik saja. Hhh sudahlah. Aku tidak tahu akan
seperti apa kelanjutan ceracauan ini. Yang jelas Langdon harus menang di akhir
cerita karena kebaikan dan kemanusiaan juga senjata. Dan ia tak pernah kalah.
Ia ekivalen dengan kacang panjang. Dipotong sependek apapun tak akan merubah
namanya menjadi kacang pendek.
Ujung ujungnya
jalani saja, enjoy saja. Semua akan indah pada waktunya. Huftt... itu
hanya ocehan seorang putus asa yang tak kunjung menikah.
Komentar
Posting Komentar