Sense Of Love


Aku sudah lama tidak jatuh cinta. Sekira dua tahun lamanya. Agar aku tidak lupa rasanya cinta, adikku menyarankan agar sering-sering tidak membawa kelengkapan berkendara saat melewati jalur tertib lalu lintas. Kata dia, jantung yang deg-degan tak seirama saat polisi mendekat, menginterogasi lalu menilang, itulah yang dinamakan cinta. Aku membenarkan begitu saja. Apalagi temanku juga mengingatkan kalau bisa jadi indra pencintaku tumpul atau mati rasa. Kedengarannya jadi semakin mengerikan. Bisa-bisa aku divonis stadium akhir jika tidak segera menajamkan kembali indra yang sangat penting ini. Oleh karena itu, aku mengubah genre buku bacaanku dengan tema cinta-cintaan. Semoga menjadi salah satu cara yang manjur dan efektif untuk mengobati penyakit ini. Sambil bersenang-senang tentu saja.


Pilihanku jatuh pada buku merah bergambar satu hati besar sebagai cover. Judulnya sepasang kekasih yang belum bertemu. Belum bertemu? Iya, iya belum. Judul yang lezat, tepat. Cocok dengan keadaanku saat ini. But wait wait? Belum bertemu dengan belum menemukan, serupa kah? Begitulah ceritanya. Indra pencintaku tak rela divonis sendiri. Dia menularkannya ke daya nalar. Itulah yang dinamakan galau o galau. Aku berfikir novel ini berkisah tentang seseorang yang mempersiapkan dirinya sebaik mungkin sebelum bertemu dengan kekasihnya. Memantapkan hati. Menguatkan asa. Mempererat tali silahturahmi,eh. Begitulah manusia kala galau berkuasa. Aku hanya melihat apa yang ingin kulihat bukan apa yang benar-benar terjadi. Karena buku ini ternyata bercerita tentang sepasang kekasih yang berkenalan di sosial media dan memulai kencan pertama tepat pada telepon pertama pula.

Sesuatu yang bahkan jauh dari teori cinta relevan dengan ditilang polisi seperti yang kita bicarakan tadi. Hanya saja, bukan aku namanya jika tidak menyelesaikan apa yang telah dibaca. Yap. Aku sudah memutuskan. Pamali jika tidak dilanjutkan. Persis dugaanku. Buku ini lebih seperti curahan hati penulis tentang cerita cintanya yang di luar logika di dalam hati. Penulis bahkan menggunakan namanya sebagai tokoh utama. Membuat kisah yang diceritakan seperti sungguhan kisah penulis sendiri. Penulis meyakinkan pembaca bahwa ini bukan kisah yang dangkal atau gila. Karena cinta tidak bisa jatuh pada orang yang tidak saling kenal bukan pada dua orang yang belum bertemu. Okelah kalau begitu.

Lalu bagaimana jika sudah bertemu nanti kau tidak suka cara makannya. Caranya menatapmu. Caranya berbicara. Caranya memperlakukan benda-benda di sekitar dan hal-hal kecil lainnya. Hayyoo! Cintamu berubahkah?

Aku lanjut membaca dengan santai. Novel ini terlihat seperti dyari anak sekolahan yang membuatku sedikit bosan. Mungkin karena aku memulai dengan ekspektasi yang cukup besar agar aku tak perlu ditilang polisi untuk merasakan getar-getar cinta. Terlepas dari kepercayaan penulis mencintai lewat telponan dan fhoto media sosial saja bukan barang antik, aku tetap tidak begitu menikmati plot cerita yang hambar, datar dan tidak membekaskan kesan. Bacaan ringan dengan gaya bertutur yang biasa. Dari cerita bermula, pembaca bisa jadi sudah bisa menebak konflik, klimaks bahkan ending cerita. Mungkin karena buku ber-genre seperti ini tidak cocok dengan seleraku. Karena aku terbiasa dengan cerita yang membuatku berhenti di beberapa bagian. Untuk menghela nafas, berfikir dan memaknai kalimat demi kalimat yang dituturkan penulis dalam bukunya.

Hingga akhirnya aku tiba di bagian akhir cerita. Di sanalah aku berhenti dan berfikir sejenak. Oke oke, mungkin karena aku terlalu sibuk memikirkan cinta aku jadi melewatkan bagian-bagian yang seharusnya memberi makna yaitu tentang menulis. Si aku dalam cerita sebenarnya sudah sibuk sejak bagian pertama menyentil-nyentilku dengan pertanyaan. “Dua tahun itu kau sudah tidak jatuh cinta atau kau sudah tidak menulis lagi?” Aku yang terdera sentimentil sense of love berkepanjangan membuatku tak sadar kesungguhan penulis mewujudkan mimpinya menjadi penulis professional juga dituturkan dalam bukunya ini.

Aku mengambil cermin sambil menunduk dalam-dalam. Tak tahan memandang diriku sendiri yang tidak tahu apa yang benar-benar aku inginkan. Tidak bisa menyelesaikan kalimat I wish dan I want. Kini, melalui buku ini aku tahu apa yang benar-benar aku inginkan yaitu menang berperang melawan kertas putih ini. Andai saja aku lebih sungguh-sungguh mungkin aku tidak akan memilih menjadi pecundang selalu. Andai saja aku tidak berfikir terlalu panjang ketimbang berbuat lebih banyak mungkin sudah banyak mimpi yang aku wujudkan salah satunya cinta itu tadi.

Boro-boro menajamkan Sense of Love, selama ini aku justru membuat cinta itu menjadi semakin rumit dan sulit dimengerti. Setelah membaca buku ini, aku menyadari kalau cinta tidak sesulit itu kok asal kita membuka hati untuk kehadirannya. Tak peduli kau belum pernah jatuh cinta atau sudah berkali-kali, rasa cinta itu sama saja. Tinggal bagaimana kau mewujudkannya. Seharusnya itu mudah. Semestinya itu indah.

Trumon, 2 Oktober 2015


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online