Percakapan dengan Si Mas
Ketika mobil kepala
sekolah berhenti di persimpangan jalan yang masih jauh dari sekolah, dua guru
dari sekolah itu berfikir. Si A duga mobilnya mogok. Si B rasa, beliau menunggu
siswa di sana. A dan B memiliki jalan pikirannya masing-masing. Dasar A adalah
mobil itu tidak bergerak. Dasar B adalah sang kepala sekolah memiliki kebiasaan
menunggu siswa di gerbang sekolah untuk bersalam-salaman.
Si A dan B lalu
bertemu. Mereka membuka topik pembicaraan tentang kepala sekolah. Si B mengutarakan
pikirannya sambil ketawa cekikikan betapa konyolnya kepala sekolah menunggu
siswa sejauh itu untuk bersalaman. Sedang si A menyangkal pernyataan B dengan
nada sedih, kasihan mobil tua bapak itu rusak dan jelek. Lalu mereka berdua
berdebat membenarkan pikirannya masing-masing. Pikiran A yang benar atau
pikiran B? Sebenarnya apa yang dilakukan kepala sekolah pagi itu di
persimpangan jalan?
Kisah tadi hanya
remah-remah kecil tentang bagaimana pikiran manusia membentuk ekspresi, sikap
dan menggiringnya kepada orang-orang di sekitarnya. Ruang lingkup kecil dengan
pikiran kecil kecilan. Meski kecil tapi mengerikan. Bayangkan jika dirawat
terus hingga besar? Ingat, A dan B belum tahu apa yang dilakukan kepala sekolah
di persimpangan itu. Pikiran ini masih seputaran A dan B. Lalu mereka bertemu
C, D dan seterusnya.
Kepala sekolah
tidak mampu mengendalikan pikiran dua gurunya. Apalagi menahan usaha mereka
membenarkan pikiran mereka itu. Dan apa pentingnya juga kedua guru itu
memikirkan hal seperti itu?
Aku jadi ingat si
Mas. Sebenarnya aku mendengar kalau Mas akan menikah dengan seorang perempuan.
Beberapa orang berkata padaku sudah agak lama. Aku berfikir itu mungkin-mungkin
saja karena memang kelihatannya seperti itu. Banyak hal yang aku dengar. Banyak
sekali. Tapi Mas hanya tertawa. Mas bilang akan menjawab sesuai dengan yang
diinginkan penanya. Bukankah itu keren? Atau keren dan sinting beda-beda tipis?
Kenapa Mas tidak berusaha meluruskan jika itu salah. Itu tidak ada gunanya.
Benar juga. Atau mungkin begini, apakah kebenaran tidak begitu diperlukan dalam
ranah sosial. Aku dengar satu tambah satu bisa jadi tiga di ilmu sosial.
Seperti kasus ini.
Seminggu ini aku kesal sekali. Kesal dengan pikiran salah seseorang tentangku.
Dia membuatku berantakan dengan sikapnya padaku berdasar atas pikirannya
sendiri. Dia sangat jumawa dengan pikirannya. Dan apa itu penting sekalikah
sehingga harus mengabaikan kenangan luar biasa aku dengannya dan masa-masa ke
depannya? Ah sudahlah. Demi Mas, aku akan membuka pikiranku lebar-lebar bahwa
tidak semua hal harus kupikirkan. Tidak semua hal harus kuluruskan. Selain
pikiran, kita juga punya hati bukan? Kita cukup punya hati yang lapang untuk
menerima semua pikiran orang lain dan memaafkannya. Karena lebih dari itu,
manusialah yang tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri. Pikiran yang bisa
jadi menuntunnya ke jalan yang salah. Pikiran salah yang membentuk sikap
salahnya. Pikiran yang tidak tertampung oleh hatinya yang sempit. Hingga tanpa
disadari, manusia adalah makhluk yang paling mudah menyakiti. Bahkan menyakiti
dirinya sendiri.
Tak salah Descartes
berkata Cogito Ergo Sum, “Aku berfikir maka aku ada”. Bagaimanapun pikiran
mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun manusia tetap berfikir. Jika hati
tidak mampu menetralisir, pikiran manusia seperti itu jadi bermanfaat.
Dimanfaatkan oleh
pembuat berita dengan membuat judul spektakuler bahkan bohong untuk menaikkan
rating kunjungan. Dimanfaatkan oleh klan tertentu untuk mengadu domba lawannya.
Dimanfaatkan oleh motivator untuk menyugesti manusia berfikiran positif. Lalu
terjadilah tsunami informasi yang bikin enek. Manusia tanpa kapasitas yang
cuap-cuap tentang suatu masalah dengan pemikiran dangkal. Sinetron pembodohan
sesuai kesukaan pasar. Tayangan TV tak edukatif untuk masyarakat yang terbiasa
berfikir kecil-kecilan.
Ups. Apa aku jadi
berfikir tak jelas arah tujuan Mas? Okelah, nikmati saja. Let it go... let
it flow. . .
Komentar
Posting Komentar